Sebelum ke Nias, aku buta sama sekali tentang pulau terluar di barat Indonesia ini yang kadang gak keliatan gambarnya di peta. Yang kutahu dari Nias hanyalah seputar lompat batunya yang tercetak di mata uang seribu rupiah jadul. Biasanya gambar ini kupandangi lekat-lekat sebelum kujajani mpek-mpek.
Karena letaknya di Sumatera Utara, aku sempat mikir orang Nias itu mirip dengan orang Batak, which is absolutely WRONG! Malahan jauh banget. Menurut DNA, orang Nias adalah pendatang yang kemungkinan berasal dari Taiwan sehingga gak heran yah kalau di Nias itu orangnya banyakan putih-putih, sipit dengan perawakan tubuh sedang. Intinya susah cari orang jelek di sini. Pas berkendara hingga ke pelosok kayak ke Nias Barat, kadang di jalan itu suka nemu anak-anak sekolah yang lagi jalan pulang panas-panasan bau ketek, bau keringat, rambut awul-awulan layaknya anak kampung lah. Tapi..tapi… wajahnya mulus banget kayak pakai 10 tahap skincare dari bayi. Meski “dijemur” matahari dan jalan kaki berkilo-kilo meter, wajahnya gak gosong, malahan pipinya jadi merah merona gitu.
Ini baru anak SD yah. Kuperhatiin juga abang-abang kuli yang lagi benerin jalan aja ada loh yang ganteng macam Tao Ming Se versi agak gosong. Rambutnya model gak jelas, tapi otot lengan dan dadanya menyembul berkat kerja keras (literally!). Rahang mukanya tegas, tapi matanya sipit. Ahh keindahan….
Masih lanjut masuk kampung, ketemu kakek-kakek ubanan pun, sisa-sisa ketampanannya masih tergurat jelas di wajah rentanya. Rasanya semua yang di Nias ini pengen kuorbitin jadi artis sinetron atau model sabun cuci TV. #eeeh
Maaf jadi ngelantur panjang.. okay balik lagi ke perjalananku.
Di hari terakhir aku extend buat maksain ke Bawomataluo di Nias selatan demi liatin lompat batu (Fahombo/Hombo Batu) secara live. BTW sebelumnya aku sempat liat lompat batu pas event di Car Free Day Jakarta. Tapi yah beda lah yah rasanya secara batunya aja diganti ama kayu gitu loh.
Bawomataluo dalam bahasa Nias berarti Bukit Matahari. Pas aku ke sana pagi-pagi selepas hujan, aku justru ingin menamainya dengan Kampung di Atas Awan. Posisi desa ini emang agak di atas karena harus melewati tanjakan dan likukan. Untungnya jalannya mulus aja. Tak seperti desa yang biasanya depannya ada gapura, di sini sambutan awalnya adalah menaiki 86 anak tangga untuk sampai ke desanya. Setelah ngos-ngosan samapi atas, ketika menengok ke belakang, aku langsung terpana karena nun jauh di sana ada lautan awan. Gumpalan awan-awan itu nampak jelas menutupi area Pantai Sorake dan Teluk Lagundri yang merupakan bintang utama destinasi wisata Nias Selatan dan kerap dipakai buat selancar.
Berada di ketinggian 270 meter di atas permukaan laut, pantesan aja desa ini hawanya sejuk. Aplagi liat gumpalan awan itu, rasanya jadi pengen punya satu awan kinton kayak Son Goku.
Karena barusan hujan, sepertinya orang-orang desa ini masih menggeliat di balik selimut atau sarung. Hanya tampak satu dua orang yang keluar ke jalanan desa yang terbuat dari potongan batu. Sisanya yang lain memilih nongkrong depan rumah atau Omo Bale yang merupakan balai pertemuan dan hanya dikhususkan bagi lelaki.
Desa Bawomataluo diperkirakan dibangun pada tahun 1830-1840 dan memiliki 137 rumah yang masih orisinil serta sebuah Omo Sebua yakni rumah raja. Bentuk desa pun membentuk skema huruf T atau L di mana rumah raja tersebut berada di tengah-tengah. Makin tinggi kasta seseorang, maka bolehlah dia tetanggaan sama si raja. Bagi yang rakyat jelata posisinya bakal paling pinggir. Jadi kalau ada musuh menyerang, kemungkinan mereka dululah yang akan merasakannya hiks.
Omo Sebua ditopang oleh lebih dari 60 tiang yang berbentuk kayu bulat segede gaban. Kayu-kayu ini diperkirakan berasal dari jauh banget (mungkin pulau lain di Nias) dan ditarik oleh ratusan tenaga manusia serta alat seadanya. Di depan rumah raja, juga terdapat menhir serta kursi dan meja batu serta berbagai ornamen dari zaman megalitikum.

Guide aku, Bang Yafa dari Go Nias Tour pun lalu mulai meng-arrange para pelompat yang akan menunjukkan kebolehannya. Kami memesan 3 lompatan agar dapat puas menyaksikannya dengan saksama. Sementara para pelompat dibangunin dan bersiap-siap, aku pun ikutan siap-siap dengan berdandan ala putri Nias dengan baju tradisional mereka yang warnanya khas banget yaitu merah (semangat) dan kuning (kemakmuran).
Setelah aku siap, maka tiga para pemuda siga-siga (ganteng) udah mulai pemanasan. Mereka meregangkan kaki, melompat-lompat dan mengecek sebongkah batu pijakan. Ibarat motor, lagi panasin mesin ini! Karena tanah yang becek dan licin, mereka pakai kaos kaki di salah satu kaki yang dipakai ketika berpijak di batu loncatan. Batu loncatan mungil itu juga dikasih karung goni biar gak licin. Maklum ini udah termasuk olahraga ekstrem. Salah memilih kaki bertumpu, salah berpijak, kurang cepat larinya, kurang pas lompatnya, bisa beresiko fatal. Pas aku tanya, pernah gak ada kecelakaan gitu, dijawab oleh Bang Yafa,
“Pernah.”
Si pelompat entah mengapa, kakinya masih tersangkut di batu sehingga dia pun terjatuh dengan kepala terlebih dahulu. Akibatnya dia mengalami geger otak. Ouch! T.T
Makanya, ketika akhirnya mereka sudah siap beraksi dan mulai berbaris, aku jadi deg-deg-an. Setelah diberi aba-aba jempol ke atas, satu pelompat mulai memasang kuda-kuda sambil meneriakkan kata-kata yang tak ku mengerti.
Sang pelompat mengawali larinya dari jarak puluhan meter. Mulai dari lari-lari kecil hingga mendekati batu pijakan, larinya semakin bertambah kencang dan bertenaga. Ketika mendekati batu tumpuan, satu kaki kiri ia naikkan dan diinjak sekuat tenaga sehingga mampu membawa tubuhnya terbang melayang melampaui batu setinggi 2,1 meter.
Waktu terasa jadi slow motion ketika akhirnya kaki kiri si pelompat ia naikkan untuk bergabung dengan kaki kanannya. Bersamaan dengan itu, badannya pun ia miringkan sedikit sambil kedua kaki layaknya menerjang udara sebelum akhirnya melewati tipis batu tersebut.
Begitu terlewati, kedua kaki tersebut langsung dengan cepat dijulurkan lurus untuk kembali berpijak di bumi.
Fiuh! Sebuah landing yang yang membuatku menahan napas dan mencoba untuk tidak mengedipkan mata.
Pelompat pertama yang umurnya sekitar 18 tahun itu berhasil menyelesaikan lompatannya dengan indah. Bapak-bapak yang dari tadi menonton di samping pun kegirangan melihat aksinya. Mungkin mereka teringat masa mudanya dulu.
Tapi jangan senang dulu pak… ini masih ada dua lagi yang akan berlaga.
Untuk lompatan kedua, aku ingin merasakannya lebih dekat. Dengan seizin mereka, aku berdiri di samping batu. Awalnya aku ingin berpose pas di depan batu seakan-akan nanti fotonya si pelompat melayang di atas kepalaku. Namun karena aku agak tinggi plus pakai mahkota pula, serta melihat kondisi tanah yang licin, ada baiknya diurungkan niat itu. Aku pun tak masalah.
Pelompat kedua kembali mengambil aba-aba. Terpacu karena melihat temannya, dia pun tampak semangat dan optimis juga. Teknik yang ia jalankan juga sama persis. Lari-lari kecil, lalu kaki bertumpu di batu kecil dan melompat sambil mengangkat kedua kaki tersebut melewati batu. Karena posisiku yang persis di samping, ketika badan dan kakinya dimiringkan ke arahku, refleks aku berasa kakinya benar-benar menendang mukaku. Reflek aku memundurkan badan ke belakang dengan ekspresi muka yang gak bisa dikontrol. Padahal kalau dari foto, masih jauh atuh…
Untuk loncatan ketiga, kali ini temenku yang mengambil posisi sama sepertiku biar bisa langsung merasakan “tendangan maut” si pelompat. Syukurlah ketiga pelompat ini sukses melompat dengan baik. Kabarnya di desa ini ada 5 pelompat pria yang kisaran umurnya 18 tahun ke atas. Mereka sudah selesai sekolah SMU tapi nampaknya tidak melanjutkan lagi ke jenjang berikutnya. Mereka murni bekerja sebagai pelompat. Dalam satu hari, tiap pelompat bisa melompat maksimal hingga 4x untuk tiap kali ada tamu yah. Sistemnya ganti-gantian gitu biar dapat semua. Untuk regenerasi, biasanya mereka juga melatih anak-anak kecil (biasanya yang emang ada turunan dari darah pelompat) yang sekiranya berminat. Mereka dilatih dari sejak SD untuk melompat dan belajarnya di bawah kolong Omo Sebua. Pas aku liat itu tumpukan kayu yang diloncati aja udah lumayan tinggi alias sepinggangku. Nah tar makin lama, standar loncat mereka juga akan makin tinggi. Hebat!!! Ini yang pada nyari atlet lompat, kagak ada yang minat ambil bibit unggul dari Nias aja nih? Sudah natural, tinggal diasah doang!
Ohya sebelumnya aku tahunya ini atraksi karena pernah baca gitu sebagai syarat buat nikah bagi pemuda di sini. Ternyata info tersebut ngawur. Jadi gini sebenarnya lompat batu ini tradisi yang ada di Nias selatan. Jadi gak cuma ada di Bawomataluo yah, tapi emang saat ini tinggal kampung ini yang punya atraksi begini buat para wisatawan. Nah zaman dulu kan masih zaman perang antar kampung tuh. Jadi bagi pemuda Nias Selatan yang menjadi prajuritnya, emang dilatih buat bisa melompat tinggi, agar bisa meloncati benteng musuh. Selain itu, keahlian ini juga berfungsi buat mereka kabur dari areanya jika amit-amit kena serang musuh. Nah jadi gak ada hubungan dengan nikah yah. Cuma yah kalau bisa lompat setinggi itu, gadis mana yang gak terkagum-kagum liatnya sih? Jadi kemungkinan digandrungi wanita dan didesak pacar buat kawin juga lebih besar kayaknya yah.
Tapi kalau si pemuda itu lantas menikah, maka sudah harus pensiun gak bisa lompat lagi. Maklum beban hidup dan beban rumah tangga udah berat hahah bercanda! Ini kayaknya lebih ke stamina si cowok sudah tidak sekuat ketika masih bujang.
Setelah mau pamitan pulang, aku sempat ngelirik sekali lagi ama para pelompat yang sudah berganti baju biasa layaknya manusia normal #halah
Aku sempat perhatikan cara jalannya agak kaku gitu, gak luwes, tegang kayak kakinya itu kalau jalan harus lurus gitu. Apakah mungkin ada pengaruh karena aksi lompat batu itu? Soalnya lompat batu setinggi itu gak pake alas kaki dan kaki langsung menghujam bumi, BOOM plus sudah dilakukan sedari kecil, pasti sedikit banyak ada pengaruh juga gak sih?
Sayangnya aku gak berani nanya sih. Cuma mendoakan mereka sehat-sehat selalu dan semoga bisa mulai merintis usaha / memiliki pekerjaan sampingan juga agar nanti kelak jika udah pensiun, masih bisa jadi bintang/inspirasi buat desanya. AMIN!
**
Info :
Tiket masuk / retribusi : Rp.5.000/orang.
Per lompatan / orang : Rp.150.000.
Sewa baju tradisional (untuk cewek/cowok) : Rp. 35.000.
Nginep hotelnya di Oseda Nias Selatan ini ya biar tak terlalu jauh.
Liat aksi lompat batunya di vlogku yah :
**
**
Beli obat, vitamin & suplemen buat jaga kesehatan di shopee ini yah
**
NEXT : Vlog lengkap selama di Nias
NEXT : Kalau hidung mampet / pas covid ga bisa nyium bau, coba pake sterimar nasal spray.
NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging
NEXT : Facial di Erha
Next : Nginap di hutan untuk ketemu Orang Rimba
Sedari dulu untuk pas lompat saya masih penasaran dengan turunnya. Aku kira di sisi lainnya itu ada pasir, sehingga pas turun tidak langsung kena tanah. Ternyata dari foto ini tetap langsung tanah/paving. Keren orang-orang Nias.
Kata teman, orang Nias meskipun perawakannya lebih pendek, tapi lompatannya tinggi-tinggi. Coba kalau lagi main bola Voli, katanya bakal smash bola menukik karena lompatannya di atas rata-rata 🙂
Betul dan di kampung ini semuanya pake paving batu gitu.. makin lah yah berasa pas landingnya hehe
Nah iya aku baru ngeh di sini olahraga favoritnya bukan sepakbola tapi voli. Pasti smashnya mantap betul sih!
Waaa mantap ya berarti harusnya atlet atlet voli Indonesia diambilnya dari sini ya. Atau basket juga. Biar lompatannya tinggi. Bisa slam dunk!
Hahah betulll ku mikirnya juga gitu
Baju adatnya gemes bangeeettt. Pengin pakai juga 😀
Iya mana warnanya cerah banget gitu loh hehhe
Uhhh ingat nias jadi pen main ke pantainya yang cantik-cantik. Makanannya nyobain gak?
coba satu aja goni fufu yang khas..sisanya hajar seafood seger mulu
sedihhh gak ikut ke sini 🙁
wkwkwk semoga next time bisa mampir yah
Wah pengalaman berharga bisa datang kesana dan melihat langsung. Cece ga nyobain lompat Batu ??
wkkw kagak usah dicoba ku tahu pasti ku tak mampu la… aku lompat sosial aja dah 🙂
di kantor dulu ada beberapa orang nias, kalo putih sih iya, tp kalo cakep yg cewenya aja cowonya ya biasa :p
iya kalau ceweknya rata-rata cakep.. kalau cowoknya tak semua sih eheh
Hihihi ….
penasaran banget. orang sana kalau bikin rumah bisa ya nyari 60 kayu…beda jaman sekarang minimalis2..
memesan 3 lompatan? kirain lompat beneran kamu mbak , orang2 sana pasti keturunan spiderman ya..hehe
Itulah zaman dulu mungkin ada unsur mistis dan gotong royong semua warga ngangkut kayu yang pasti berat banget dah. Wkwk aku lompat sosial aja bisanya mas
wah wah.. sudah cocok jadi perempuan Nias kamu, Len! ?
Ho oh banyak yang bilang gitu ehe