Awal Mula Cerita Cinta Kamar Hotel

cerita cinta di kamar hotel

Kedekatan dua insan manusia dapat berawal dari banyak tempat, waktu dan ruang. Namun yang paling intens adalah ketika mulainya cerita cinta kamar hotel seperti kala itu…

Aku membuat janji untuk bertemu dengan Justin. Sebenarnya kedatanganku ke kota ini adalah dalam rangka menemani keluarga angkatku dalam berplesir. Barulah ketika keluargaku pulang, aku memutuskan extend barang dua atau tiga hari lagi, mumpung jatah cutiku masih banyak. Lagian Justin berjanji akan mengajakku keliling ke tempat-tempat yang eksotis.

Kebetulan aku mendapatkan sebuah penginapan bagus berbentuk vila dengan harga promo. Villa yang berada di tepi pantai ini punya pemandangan yang menakjubkan. Karena penakut, aku menawarkan Justin untuk ikut serta menginap agar keesokan harinya kami dapat melanjutkan perjalanan. Iya pun setuju. Villa ini memang lumayan besar dengan beberapa kamar terpisah, sebuah ruang tamu terbuka dan juga sebuah kolam renang.

Perjalanan ke vila tersebut memakan waktu cukup lama, apalagi kami hanya mengendarai motor. Sesampainya di sana, kami terlanjur sudah letih dan hari sudah sore. Jadilah kami putuskan hanya berenang dan leyeh-leyeh saja sambil menunggu matahari kembali ke peraduannya.

Sudah lama aku dan Justin tidak bertemu sehingga sejam dua jam sangat tidak terasa karena banyak sekali cerita dan gosip yang kami bicarakan. Menjelang maghrib, barulah kami kembali ke kamar masing-masing untuk mandi dan bersiap mencari makan malam.

Karena letaknya yang terpencil, kami harus keluar vila untuk mencari warung makan. Angin malam mulai terasa sejuk di kulit manakala aku lupa membalut tubuhku dengan jaket.

“Dingin yah? Sini masuki aja tangannya ke kantong,” ujar Justin yang melirikku lewat spion motor.

Aku ingin menolak tapi bibirku yang gemeratakan serta badanku yang mulai gemetaran ini harus segera ditolong.

“Maaf yah…” jawabku sambil mengiyakan tawarannya.

Jari-jariku terasa hangat, seperti meleleh ketika meletakkan tanganku di kantongnya, tepat di depan perutnya.

“Toeng..toenggg..” aku mencairkan suasana dengan mencubit lemak-lemaknya yang membuntal.

Justin pun tertawa lebar sambil menahan geli dan berusaha fokus agar motor tidak bergoyang. Ini salah satu yang aku suka dari dia. Meski secara fisik ia bukan tipe pria yang aku gandrungi, namun sifatnya yang lucu dan perhatian membuatku betah berlama-lama bersamanya.

“Kita bungkus aja yah..” ajaknya ketika setelah setengah jam berputar-putar dan hanya ketemu sebuah warung ala kadarnya di tepi jalan antah berantah ini.

Kami memesan nasi dengan lauk seadanya, hanya untuk menganjal perut yang sudah mulai kososng. Begitu balik, kami langsung menghabisi makanan tersebut sambil menonton film komedi. Berhubung TV hanya ada di kamarku, yang notabane kamar paling besar, maka kami pun menghabiskan malam di sana.

Awalnya kami duduk di sofa, namun lama-lama berpindah ke kasur king bed. Kadang kala ketika sedang lucu-lucunya, aku reflek memukul atau mencubit tangan Justin. Ia tak membalas karena paham akan kelakuanku. Ia hanya mengusap rambutku yang makin acak-acakan.

Menjelang pertengahan film, Justin mulai terdiam sambil sesekali memiringkan kepalanya ke bahuku. Kasian, pasti ia capek seharian bawa motor dan meladeni aku yang pecicilan ini. Ku naikkan selimut hingga menutupi badannya. Aku tak mau ia masuk angin.

Terkadang ia mulai memejamkan matanya, tapi sesekali ia melirikku. Tatapan matanya beda ketika ia mulai lelah. Seperti bocah, ia sangat manja malam ini. Aku mencoba mencubit perutnya lagi. Tidak ada respon. Aku cubit pipinya yang juga tak kalah banyak lemak. Ia langsung menangkap tanganku sebelum aku sempat menariknya. Justin lalu mengenggam tanganku, mengepalkannya lalu meletakannya di atas bibirnya.

Dapat kurasakan nafasnya yang berdesir di kulit tanganku. Aku bingung harus berbuat apa. Sebisa mungkin aku tak menggerakkan tubuhku agar tak mengusiknya. Namun syukurnya aku masih mampu meraih remote TV di samping kasur dan mematikan layar TV. Film komedi tadi sudah terasa hambar.

Aku menoleh lagi melihat Justin yang sudah tampak nyaman sekali bersandar menyamping ke bahuku. Sesekali kepalanya melorot ke lenganku. Aku berbaik hati membetulkan posisinya. Tapi lama-lama bahuku juga ikutan pegel. Jadilah aku membalikkan badanku ke samping.

“Sini aja..” Justin langsung mendekap tubuhku. Ia seperti tak rela berjauhan dengan “guling hidup”.

Sekarang posisi kami sejajar. Muka Justin ada di sela-sela rambutku. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya di daun telingaku. Entah kenapa tarikan nafasnya terdengar seperti alunan melodi. Tangannya mendekap tubuhku dan kini aku dapat merasakan langsung dadanya yang bidang tapi dengan perut yang (mulai) membuncit. Saking kencangnya ia memelukku, aku bisa merasakan detak jantungnya. Begitupun detak jantungku yang semakin berdebar-debar.

Di antara lelapnya, ia sempat mengecup leher belakangku. Rasanya geli sekali, sampai bulu kudukku berdiri. Namun bukannya berhenti, Justin terus mencumbu leherku. Pelan tapi pasti, kecupan itu dibumbui dengan jilatan mesra. Tangannya yang tadi mengunci tubuhku ia longgarkan sedikit dan kini tangganya meraba ke wajahku, seakan ingin memastikan apakah aku tertidur atau tidak.

“Justin..” ucapku pelan.

“Sssstt….” dia hanya mendesis seraya meletakkan jari telunjuknya di bibirku.

Jari telunjuk itu lantas meraba bibir atas, bibir bawah dan tak jarang terpeleset masuk ke dalam mulutku.

Aku tergangga, terkejut dengan masih menahan rasa geli di leherku.

Justin membalikkan badanku ke arahnya. Ia melotot ke dalam mataku, jauh menembus hingga ke dasar hati. Tapi tak lama, lirikannya kini tertuju pada bibirku yang terbuka.

Layaknya elang yang telah menancapkan sasarannya, bibirnya pun langsung dengan cepat mendarat dan melumat bibirku. Tak diberikannya aku waktu untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Sempat gigi aku bertemu dan terantuk, namun itu tak digubrisnya. Lidahnya sibuk menelusuri kedua bibirku dan sesekali mencari keberadaan lidahku.

Tangan Justin mengikuti irama tubuhku yang menggeliat dan beranjak turun dari wajah ke dada lalu berhenti di payudara. Ia membuat gerakan memutar yang lembut, bak tukang ukur yang sedang menimbang-nimbang seberapa berat payudaraku.

Puas dengan bibirku, ia beralih ke telingaku. Pelan pelan ia kecup kupingku hingga akhirnya memasukkan lidahnya ke lobang telingaku.

KYAAA~~

“Gak mau.. geliii ih…,” aku langsung mengatupkan kedua telingaku dengan tangan.

Ia tersenyum melihat titik lemahku. Melihat ada kesempatan besar, ia langsung menyasar dadaku yang kini tak terlindungi oleh tanganku. Dalam hitungan detik, Justin mampu menaikkan kaosku hingga ke leherku.

Di bawah lampu temaram di sisi ranjang, buah dadaku terlihat gamblang. Mata Justin berbinar-binar. Bola matanya yang hitam langsung membesar. Ia buai manja kedua buah dadaku tak ubahnya barang berharga. Ia juga menurunkkan tali braku terlebih dahulu. Tampaklah bahwa payudaraku langsung terlihat lebih rileks. Selanjutnya, ia menyingkap bra 34B itu ke atas. Lengkap sudah. Kini, kedua buah dadaku telanjang di hadapannya.

Aku malu sekali. Dari telinga, aku pindahkan kedua telapak tanganku ke muka untuk menutupi wajahku. Lain halnya dengan Justin yang tanpa basa basi dan risih, ia seperti menemukan sumber kekuatan baru.

Dibelainya kedua payudaraku seakan-akan sedang menimang anak. Ia kebingungan harus melahap yang mana dulu. Akhirnya keputusannya jatuh pada payudara kanan karena ketika jemarinya bermain di sana, putingku memberikan sinyal yang positif. Justin terus memplintir putingku yang berwarna cokelat muda itu.

Aku dapat merasakan aliran darahku yang semula berkumpul di kepala kini turun ke bagian dada. Aku juga mengapitkan kedua pahaku kencang-kencang karena sensasi yang telah lama tak kurasakan ini muncul kembali tanpa diundang.

Aku pernah mendengar bahwa tempat ternyaman bagi seorang pria adalah di dada wanitanya. Baru kali ini aku percaya. Lama sekali Justin menghabiskan waktunya mengemut payudaraku seperti layaknya permen bon bon. Tidak ada satupun bagian yang terlewati.

Sesekali ia turun ke perutku. Bibirnya mengecup manis pusarku dan dari sini ia dapat melihat pemandangan kedua gundukan dadaku dari bawah. Ia mengusap-usap perutku lalu meraba pinggulku. Pahaku yang sedari tadi bergetar pun ia belai. Namun ketika tangannya tiba di bokongku, ia kembali kasar. Ia tampar dan remas bulat-bulat sebagaimana tangannya mampu.

Ia mengendus-ngendus selangkanganku. Tangannya meraba bentuk vulvaku dari luar. Sesekali telunjuk dan beberapa jari lainnya bermain di situ, bergerak naik turun. Celana dalam yang kupakai terasa ketat dan mulai becek.

“Jangan…..” aku menyilangkan kakiku agar ia tidak bereaksi lebih jauh.

Aku tak sanggup. Tidak untuk saat ini.

Ia menghela napas, tapi maklum.

Ia mengecup keningku. Ia benahi lagi bra dan kaosku yang telah ia porak porandakan sejam yang lalu.

“Dah… bobo yuk,” ujarnya sebelum kesadarannya hilang.

Sejak itulah ia tak hanya menjadi partner travelingku, tapi juga selimut di hatiku yang hadir dalam malam-malam yang dingin dan juga ketika esok matahari bersinar.

Justin, just the way you are.

**

Cerita cinta kamar hotel lainnya cek di sini ya

****

Belanja baju keren & murah di shopee ini yah. 

****

Next : Nginap di hutan demi ketemu Orang Rimba

NEXT : Kisah Penyuka Ketiak

**

NEXT : Kalau hidung mampet / pas covid ga bisa nyium bau, coba pake sterimar nasal spray.

NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging

NEXT : Facial di Erha

Travel Now or NEVER

Leave a Reply