— Ini hanya fiksi bertema cerita cinta kamar hotel yah —
Lagu Bruno Mars _ When I Was Your Man melantun pelan mengiringi gemericik sungai Batanghari. Jangan bayangkan air biru yang jernih layaknya di pesisir timur Indonesia. Di Jambi ini, bibir sungai batanghari hanya berupa pasir hitam gelam disanding dengan coklatnya air sungai. Tidak berbau aja sudah syukur sekali. Namun, daripada tidak ada, kami orang Jambi tetap bangga dan berbesar hati. Lantas biar makin populer, tepian ini pun dinamai “Ancol”. Bukan si manis Jembatan Ancol yah. Tapi harapannya bisa menjadi tempat bersantai, bermain dan juga tempat kongkow kawula muda.
Di sini, di salah satu objek wisata andalan Jambi inilah aku kembali bertemu dengan Dodi setelah empat tahun sejak pertemuan terakhir kami.
“Itu apa?” tunjuknya penasaran.
“Itu jembatan ke seberang, tapi belom selesai dibangun,” ujarku.
Jembatan tepat di depan rumah dinas gubernur ini, seperti dua tangan yang berusaha saling menggapai namun tak mampu. Padahal tinggal beberapa puluh meter lagi maka tersambunglah kedua sisi tersebut. Tapi apa daya proyek itu dibiarkan saja mangkrak. Kami menatapnya dengan mata nanar, tak sadar seperti itu jualah hubungan kami. Kasih tak sampai.
Mataku mulai mengantuk dibuai angin malam. Tapi batinku meminta aku bertahan. Sebentar saja lagi. Momen seperti ini sejak lama telah aku impikan dan baru sekarang dapat terealisasikan. Aku tak tahu apa gerangan motifnya muncul kembali ke hadapanku. Belakangan kami dekat kembali, setelah meregang dan menjauh. Tapi mungkin aku lebih baik tak perlu tahu apa isi hatinya. Cukuplah aku nikmati saja detik ini di mana kami duduk berdua mengigiti bongol jagung manis sambil menyesap es tebu. Sambil duduk di kursi plastik reyot bertaburkan kelap-kelip bintang di angkasa saja sudah lebih untuk membuat hatiku bahagia.
“Udahan yuk..” Dodi menaikkan resliting jaketnya.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku dan pergi membayar minuman. Dodi menyalakan mesin motorku. Tak lama kami pun sudah berada di jalanan kota Jambi yang telah lengang senyap. Karena baru sampai pagi tadi, ia belum sempat check-in hotel. Ia hanya meletakkan sebuah koper kecil di resepsionis.
Sampai di hotel yang telah kupilihkan buatnya, kami langsung bergegas masuk ke dalam kamar. Aku ingin memastikan terlebih dahulu ia cocok dengan kamar ini. Dodi hanya menoleh sedikit ke kasur dan meja kerja di pojok. Ia tampak puas dan langsung ke toilet dan mandi.
Aku memilih rebahan di kasur yang empuk ini dan nyaris berlayar ke pulau kapuk hingga kudengar teriakan Dodi
“Len..ambilin celanaku dong di tas..” aku tersentak kaget dan langsung menuruti maunya.
“Nih..” aku mengedor kaca pintu shower.
Ketika pintu dibuka, uap panas dari shower langsung menghambur ke luar. Ia menjulurkan sedikit lengannya. Tak sengaja aku sempat melihat badannya yang sedari tadi luput dari pantauanku. Dadanya lumayan bidang dengan sebuah tato yang bertengger manis di sana. Pundaknya lebar dan berotot. Dulu aku kerap komplain karena aku lebih suka bersandar di pundak yang lembut. Begitupun dengan perutnya. Tak banyak timbunan lemak yang bisa aku jadikan alas kepalaku.
Aku keluar dari kamar mandi sebelum ketahuan pipiku telah merah merona.
“Len bawa minyak kayu putih gak? Keknya aku masuk angin deh.”
Sial! Bagaimana aku bisa sampai lupa kebiasaannya yang kerap tak tahan dingin. Aku merogoh tasku namun tak dapat kutemukan apapun yang dapat membuatnya enakan. Dodi terlihat lemas dan langsung masuk ke dalam selimut. Pendingin ruangan kumatikan agar ia tidak menggigil.
Lewat aplikasi, aku berhasil menemukan driver yang mau membelikan “obat” pereda semacam minyak kayu putih, permen hisap, roti dan juga antangin barang beberapa sachet. Untungnya kami tidak makan telat sehingga masuk anginnya tidak terlalu parah. Tapi tampaknya ia juga kecapekan.
Kedatangannya di kotaku membuatku sangat bersemangat untuk mengajaknya berkeliling ke sana ke mari tanpa tahu bahwa ia sempat tak tidur karena harus berangkat tengah malam naik travel selama 8 jam. Oalah pantas saja kini ia tepar.
Aku mengambil handuk kecil dan mengeringkan rambutnya yang masih basah.
“Kebiasaan deh kamu, bangun dulu gih aku lap bentar kepalanya.”
Aku membantu mendudukkannya. Beberapa tetes air jatuh di pipinya. Sepertinya ia hanya mengusap sebentar kepalanya dan buru-buru ke kasur. Dodi menyerongkan kepalanya dan meletakannya di pundakku. Wangi sampo hotel itu langsung menyeruak ke hidungku.
“Malam ini di sini aja yah…” Dodi seperti merengek.
Aku bimbang. Ia mendekapku erat seperti berusaha meyakinkan diriku. Nafasnya yang hangat bergemuruh di leherku.
DRRTTT…DRTTTTT…RRTRRRT…
Panggilan masuk dari abang ojek mengangetkanku. Cepat-cepat kusambar HP dan lari keluar ke lobi.
Balik ke kamar, untungnya Dodi belum tertidur. Kupaksa ia meminum antangin terlebih dahulu. Sementara itu aku membalurkan minyak di punggungnya. Ia menyingkap kaos putih tipis itu dan menaikkannya. Namun karena tanggung, ia pun melepasnya.
Semerbak wangi kayu putih mengisi ruangan kecil ini. Aku terus membalurkannya di pundak, leher dan beranjak ke perutnya. Ada sensasi hangat yang tiba-tiba menjalar ke tubuhku manakala bersinggungan dengan bulu bulu halus di bawah pusarnya. Bulu halus keriting itu membentuk garis lurus berjajar rapi hingga menyusup ke dalam boxernya.
Tiba-tiba Dodi menggengam tanganku dan menurunkannya hingga menyentuh selangkangannya.
Aku terpekik. Dia terkikik.
Aku cemberut. Dia terkekeh.
Bisa bisanya ia tetap usil di kala situasi genting seperti ini. Ingin rasanya kupukul wajahnya dengan bantal.
Kali ini ia meraih tubuhku dan menjatuhkan badanku ke sampingnya.
“Jangan ngambek dong..”
Aku masih menekuk mukaku. Ia mengusap-usap pipiku dengan hidungnya yang mancung. Bulu-bulu kumisnya yang tipis dan lembab membuatku geli.
“Ahahhahah… udah ah…aku bau tau..belum mandi..”
“Lu masih sama kayak dulu Len.. wangi..” jawabnya sambil hidungnya terus mengendus bak anjing pelacak.
Mendengar hal itu aku jadi gugup. Mana mungkin aku wangi. Bau asap jagung bakar, knalpot dan polusi bercampur menjadi satu melekat di pakaian, rambut dan tiap jengkal tubuhku. Apalagi aku hanya sempat mandi tadi pagi tanpa keramas. Sekarang tubuhku terasa lengket dan apek. Lipatan-lipatan tubuhku seperti tengkuk, ketiak, selangkangan pastilah sudah berbau masam.
Namun itulah yang Dodi sukai, bau alami yang terpencar dari tubuhku yang tidak pernah menggunakan parfum maupun deodoran. Satu-satunya minyak wangi alami yang kupakai adalah Olive oil yang kubalurkan setiap kali sehabis mandi. Resep turun temurun ini dipercaya mampu membuat kulitku kenyal dan sehat. Baunya pun menentramkan bak dibuai alam semesta.
Dodi mengangkat lenganku ke atas. Malam itu aku hanya menggunakan kaos hitam buntung dan cardigan. Aku sempat menahannya karena malu. Walaupun dalam hati aku bisa memprediksi hal ini akan terjadi jua, namun tetap saja aku tak dapat menyembunyikan desiran jantungku yang terus berdegup kencang.
Dodi terpana memperhatikan ketiakku yang lama tak pernah ia jumpai itu. Aku yakin udara hangat di kamar telah membuat ketiakku makin lembab. Untungnya aku bukan tipe yang mempunyai bau badan atau bau ketiak. Pun kalaupun itu terjadi, mungkin itu semua tak masalah buat Dodi. Justru ketika aku semakin berkeringat, ia pun semakin bergariah.
Dengan mata terpejam, ia mengendus-endus ketiak basahku. Nikmat sekali ia menyesap bau pekat yang keluar dari kelenjer apokrin ketiakku. Dodi bahkan tak ragu – ragu menjulurkan lidahnya dan menjilati ketiakku. Air liurnya yang kental membanjiri ketiakku. Saking gemasnya, tak jarang pula ia mengulum lipatan ketiak dan area lengan bagian dalamku yang menglambir. Bila biasanya bekas “cupang” itu ada di leher atau dada, namun bila bersama Dodi, maka ketiakku lah yang menjadi sasaran empuk baginya.
Aku hanya dapat mengapit seprei kasur kencang-kencang sambil menahan geli. Rasa panas di ketiakku membuat tubuhku ikut mengelinjang. Sesekali aku menjambak rambut Dodi dan menariknya ketika ia mulai beringas. Namun seketika melihat ekspresi wajah Dodi yang seperti berada di utopia, maka aku pun membiarkannya lagi bergumul di ketiakku.
“Jangan dicukur yah..segini aja udah bagus kok,” Dodi menghentikan aksinya sebentar seraya mengusap bulu-bulu yang mulai tumbuh di ketiakku.
Usai mengerayangi kedua ketiakku, ia menyosorkan bibirnya ke mulutku. Aku langsung membungkam mulutnya. Bibirnya yang penuh dengan air liur bercampur keringat itu membuatku geli. Namun Dodi tetap memaksa untuk menempelkan bibirnya. Aku mengikhlaskannya dengan syarat melap bibirnya yang basah itu terlebih dahulu. Setidaknya ketika lidah kami saling melumat, aku tak bakal merasakan rasa asin keringatku sendiri.
Tapi sebetulnya aku pun tak bakal mampu mengubris hal itu. Di detik pertama bibir kami bersinggungan, aku sudah tak peduli lagi akan apapun di dunia ini. Aku hanya ingin waktu berhenti. Aku hanya ingin mulutnya terus mencumbui jiwaku dan membiarkan indera perasaku mengecap lagi rasa cinta yang berkobar kembali.
Api dalam ragaku menyala membara manakala tanggannya meremas buah dadaku. Aku memejamkan mata kuat – kuat dan menenggelamkan diriku dalam ekstaksi. Desahan demi desahan berpadu dalam simfoni dua sejoli yang dimabuk kepayang. Aku mencakar pundaknya sembari menuntun tangganya untuk melepaskan pengait kutangku di belakang.
“You wont need this anymore..” bisiknya pelan.
Ia membenamkan hidungnya ke dalam kutangku yang sumuk dan menarik napas dalam-dalam. Lenguhan “Arrrghhhh” panjang keluar dari mulutnya sebelum akhirnya ia melemparkan kutangku ke meja di samping.
Dodi lantas menarik bajuku ke atas dan memploroti celana kulot yang kupakai. Kini hanya ada kolor yang menjadi penghalang di antara kami.
Dodi memintaku membalikkan badan. Aku menurutinya dan berbaring telungkup. Dari belakang ia menindihku dan menjilati leher dan tengkukku. Sedangkan tanggannya memelintir putingku yang sudah mengeras.
Posisi ini adalah kesukaannya karena ia bisa puas menjilati punggungku. Mulai dari tengkuk hingga turun ke tulang ekor, Dodi menjamahi satu persatu dengan teliti. Aku mulai tak kuasa menahan gejolak ini. Aku memberikan kode dengan mengesekkan pantatku turun dan naik.
Tapi malang tak dapat ditolak. Tubuh Dodi belum fit sepenuhnya. Ia masih kelelahan. Aku perhatikan napasnya tambah berat. Dahinya juga kian panas dan wajahnya mulai memerah. Akupun mengalah dan meredam nafsuku. Sepertinya Dody lebih butuh kehangatan dan skin-to-skin contact layaknya bayi ketika sedang demam. Memang selayaknya bocah, Dodi malam ini manja sekali. Tak sedikitpun tubuh kami boleh berjarak.
Aku meraih selimut dan menutupi tubuhnya dan tubuhku.
“Bobo yah.. masih ada besok..” ajakku.
Dodi hanya mengangguk lemas. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia terlelap di antara payudaraku. Suara mendengkurnya terdengar cukup nyaring. Aku mengusap- usap rambutnya yang sudah mulai kering. Kuciumi baunya selayaknya ia menciumi ketiakku.
Jika hewan biasanya mencari pasangannya lewat bebauan khasnya, begitupun manusia. Sebagai primata yang cerdas, bau natural yang dikeluarkan dari tubuh adalah daya tarik terbesar buat lawan jenis. Kecocokan bau inilah yang akan menjadi perekat hubungan dan alasan untuk kembali.
Sebagaimana aku percaya bahwa mulut bisa berbohong, namun tidak dengan indera penciumanmu.
****
Belanja baju keren & murah di shopee ini yah.
**
Cerita cinta kamar hotel lainnya bisa lihat di sini yah
NEXT : Kisah Penyuka Ketiak
**
NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging
NEXT : Facial di Erha
**
NEXT : Infinity Pool di Jakarta
**
Next : Nginap di hutan demi ketemu Orang Rimba
Wah kentang kak.
heheeh