Suara azan berkumandang. Aku mendongak ke atas dan menemukan tulisan lafaz Allah, bersinar menerangi sekelilingnya yang gelap gulita. Dalam kegelapan pekat tiada batas itu, pusaran masa lalu dan dosa lalu lalang berputar dalam benak. Mengingat-ingat kembali pias wajah orang tercinta dan apa-apa saja yang mungkin saja berakhir menjadi penyesalan yang akan dibawa ke Rahmatullah. Tak kuasa memikirkannya, aku menurunkan kepala. Di depanku ribuan nama terukir bukan tanpa sebab. Mereka ialah orang-orang yang menjadi korban dari air bah. Yah ku yakin mereka tak pernah tahu bahwa bencana pada 26 Desember 2004 itu konon disebut tsunami.
Yang mereka ingat adalah minggu pagi yang tenang. Hari-hari tak ubahnya dengan kemarin-kemarin. Ada yang masih terlelap dibuai mimpi, ada yang sudah ke pantai dan ada yang sudah memulai aktivitas. Nelayan melihat ke arah laut dan terperanjat melihat air surut terlalu jauh dari biasanya sehingga membuat ikan-ikan tampak di daratan. Beberapa dari mereka lantas mengejar perahu yang terseret. Beberapa hanya bisa menduga-duga hingga sebuah gempa menggagetkan semesta dan air bah pun tanpa bisa ditolak kehadirannya.
Leni Wahyuni.
Aku terhenyak. Namaku. Seketika rasanya seperti mendengar gemuruh ombak menghantam daratan dan tanah lalu bergoncang. Raga mulai terlelap dalam buih dan dihempaskan seketika.
Aku menghela napas panjang.
Tak kusangka Sumur Doa di Museum Tsunami ini mampu membuat batinku terguncang hanya dengan berada di dalam sana. Ruangan ini tak terlalu besar dengan lampu temaram. Aku bisa saja larut lebih jauh namun untunglah gerombolan manusia berdatangan sehingga mengacaukan lamunanku.
Aku memilih keluar saja dan melihat-lihat lagi sekeliling museum. Tak banyak yang bisa membuatku tertarik selain melihat foto, barang peninggalan dan cerita-cerita tentang jejak tsunami.
Agar lengkap napak tilas ini, aku segera menuju ke salah satu kuburan masal yang ada di Banda Aceh yaitu Makam Ulee Lheue yang dibangun pada tahun 2008. Di sinilah tempat peristirahatan terakhir bagi 14.264 orang yang sudah tak dapat dikenali lagi. Ketika musibah terjadi memang ada kalanya mau tak mau tindakan penguburan harus segera dilaksanakan agar wabah penyakit tidak ikut menyerang warga lainnya. Tentunya mayat bergelimangan, tubuh bengkak biru dan belatung yang mulai menggerogoti raga manusia akan membuat kesedihan dan trauma berkepanjangan.
Sekilas dari jalan raya, ketika masuk ke area ini, tidak ada gambaran bahwa ini adalah kuburan. Tidak ada nisan. Tidak ada bunga-bunga yang bertebaran. Tidak ada.
Tempat ini tak ubahnya bak taman kota dengan pepohonan dan lapangan hijau. Namun rupanya di bawah sanalah bersemayam jasad para korban. Mereka terbagi atas dua kuburan yakni dewasa dan anak-anak. Yang dewasa menempati lahan yang lebih besar. Makam anak-anak ada di belakang. Namun ketika aku tatap, tak kuasa rasanya ingin menitikkan air mata membayangkan wajah-wajah lucu menggemaskan yang belum tahu asam manisnya kehidupan.
Tenang di sana kamu yah dek. Sekarang sudah bisa main sepuasnya. Orang tua dan keluarga akan selalu merindukan kalian.
Suasana makam yang tak ada seorang manusia pun menjadi trigger aku menjadi mellow membayangkan bahwa hidup ini sungguhlah hanya setipis benang kancut. Rapuh. Bisa terputus kapan saja dan oleh apa saja. Jika kelak tali kehidupan agar segera tercabut, akankah aku siap meninggalkan dunia yang fana ini?
Jawabnya biarlah dalam hati saja.
Mari kita akhiri perjalanan penuh kontemplasi ini dengan mendoakan mereka di Masjid Raya Baiturrahman.
Semoga tidak ada lagi bencana yang menimpa Nusantara. Amin.
**
****
Belanja baju keren & murah di shopee ini yah.
****
NEXT : Gimana rasanya kerudungan di Aceh?
NEXT : Nginap di hutan untuk ketemu Orang Rimba
NEXT : Kalau hidung mampet / pas covid ga bisa nyium bau, coba pake sterimar nasal spray.
NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging
NEXT : Facial di Erha