Bubur Ayam : Benci Jadi Cinta

bubur ayam

Jangan terlalu benci, nanti cinta.

Kalimat di atas dapat dijumpai pada kisah percintaan, hobi maupun makanan.

Di Jambi, bubur itu bukan sarapan. Bahkan bukan pula makanan pada umumnya. Ada sih di keluargaku, kami makan bubur hanya hari minggu itupun bubur putih saja dengan telor, biar sehat. Dulu papa setelah stroke, tiap hari dikasih makan bubur beras merah biar lebih sehat. Oleh karena itu, bagiku bubur itu seperti makanan orang sakit atau orang yang susah mengunyah mungkin karena sakit gigi, sakit perut dll. Pas dulu aku opname di RS, menuku pun bubur, jadi ya sudah begitulah anggapanku soal nasi lembek berair tersebut.

Sewaktu pindah di Jakarta, makanya aku heran dengan banyaknya orang jualan bubur ayam. Tiap pengkolan aja bisa ada dua penjual kek di kosanku. Well di Jambi juga ada tapi paling 1 orang doang yang jualan “Bubur Bandung” untuk di satu area. Sisanya, orang Jambi lebih milih makan lontong, nasi gemuk, tekwan dll. Bubur? cih Lemah!

Hingga suatu saat, aku lupa kapan tepatnya. Aku juga tak tahu apa yang membuatku berinisiatif memesan bubur ayam di samping kosanku. Yang ku tahu si abang selalu ramai pembeli sehingga dipastikan rasanya tidak ambyar. Mungkin saja pagi itu aku butuh sarapan cepat sehingga tak ada salahnya mencoba untuk pertama kalinya. Atau bisa jadi saat itu aku lagi kurang enak badan sehingga memesan bubur bisa jadi suatu pembenaran.

Aku tak tahu bubur ayam itu seperti apa dan isinya apa saja. Jadi ketika memesan, aku mengiyakan semua topping yang diberikan. Bawang goreng, kacang, ayam, seledri, cakue dan kuahnya. Terakhir, ditambahkanlah emping, kerupuk dan sesendok sambal ke mangkokku. Aku pun kembali ke kos dan bingung bagaimana memakannya atau apa dulu yang dimakan. Aku juga tidak tahu ada tim bubur diaduk dan tim bubur jangan diaduk. Karena kurangnya informasi, maka aku tak pernah mengaduk isian bubur. Pun menurutku langsung diambil sesendok dan tinggal dimasukkan ke dalam mulut.

Aku harus akui semua berkat kuah bubur ayam yang mirip gulai gurih itulah yang menyelamatkan rasa dari bubur itu sendiri. Sisanya? Biasa saja. Malah ayamnya agak hambar dengan kulit dan tekstur agak keras. Cakue gorengnya juga anyep dan dingin. Sisanya? tidak ada yang spesial. Sewaktu awal-awal mencoba, porsinya terlalu banyak karena aku tak terbiasa makan bubur ini. Palingan yang selalu aku habisi adalah kerupuknya saja.

Dari perkenalan dengan bubur ayam Pemalang, Jawa Tengah tersebut, butuh waktu lama bagiku untuk terbiasa dan nyaman. Hingga sekarang, penilaianku masih tetap sama soal rasa. Kuahnya adalah yang terbaik. Untuk porsinya, aku pesan setengah mangkok. Makannya pun tak boleh diaduk karena bikin tak selera melihat tampilannya yang sudah tak estetik. Jangan pula dikasih kecap manis karena merusak rasa. Kuah harus banyak agar sesuai dengan lidahku yang suka asin. Sedikit demi sedikit akhirnya aku kerap juga memesan bubur ayam jika sedang buru-buru dan aku butuh asupan. Selain itu, jikalau di hari minggu sedang tidak ada yang jual makanan dan hanya abang bubur ayam yang ada, maka yah apa boleh buat.

Sejak isu Corona merebak dan mulai puasa, abang bubur ayam tidak menampakkan wajahnya. Dua bulan berlalu, tak sekalipun aku merindukannya karena bubur ayam memang belum jadi makanan favoritku. Namun akhir-akhir ini entah karena pengaruh berdiam diri di kosan mulu, badanku jadi tidak sefit biasanya. Tiba-tiba aku merindukan bubur panas abang itu. Entah kenapa sate telur putih yang dijajakan abang itu menjadi tampak lezat. Setidaknya meski rasanya masih biasa saja, namun makanan sehat di pagi hari itu mulai mengusik sanubariku.

Apakah tanpa disadari aku telah menaruh rasa pada semangkuk bubur tersebut?

Untuk mengobati kerinduanku, aku sempat beli bubur ayam abang lain. Bah rasanya jauh di bawah standarku meski murah banget cuma goceng. Tapi enggak lagi-lagi dah. Hingga hari ini akhirnya si abang jualan lagi. Seneng banget langsung beli dan terlahirlah video ini.

Rasanya kalau bubur ayam itu bukan dari racikan tangan si abang, aku tak akan jatuh cinta dengan makanan satu ini. Hanya si abanglah pokoknya yang sudah hapal apa saja yang kumau. Kuah banyak, gak pake kecap manis dan sambal seuprit.

**

Apa makanan yang awalnya kalian tidak suka tapi setelah itu malah jadi suka / rutin dimakan?

**

****

Belanja baju keren & murah di shopee ini yah. 

****

NEXT : Kalau hidung mampet / pas covid ga bisa nyium bau, coba pake sterimar nasal spray.

NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging

NEXT : Facial di Erha

NEXT : Nginap di hutan untuk bertemu Orang Rimba

Travel Now or NEVER
8 Responses
  1. Zam

    sama. awalnya aku makan bubur ya kalo sakit. bahkan nemu warung bubur buka di malam hari ya cuma di Jakarta.. dari sekian banyak gagrak bubur, aku paling cocok sama bubur gagrak cirebon, namun aku malah tidak suka pakai kuah. menurutku, bubur yang sudah lembek jadi makin aneh kalo ditambah kuah.. ?

  2. Avant Garde

    Aku paling suka bubur di kampung, topingnya sederhana aja cuman pake sambel tumpang (sayur tahu) sama gorengan, kadang dikasih urap sama sambel huhuhu…

  3. Avant Garde

    Di solo dan sekitarnya ce 🙂 bubur ala kampung sih, jadi gak pake toping macem2 ala bubur ayam Jakarta, bubur manado katanya juga enak, banyak sayurnya huhu

Leave a Reply