Selama ini Utrecht dalam benakku adalah kota pelajar dikarenakan beberapa temanku pas kuliah di Belanda milihnya di Utrecht. Pas giliran aku berkesempatan ke Belanda, Utrecht adalah kota pertama yang aku pijaki. Hari masih pagi buta dan jalanan kosong senyap. Namun aku bergegas siap-siap tidak mau menyia-nyiakan waktu dan langsung menuju Dom Tower, landmark dan ikon kota ini.
Dom Tower merupakan church tower tertinggi dan tertua di Belanda yang dibangun pada tahun 1321-1382. Di kota Utrecht yang nyaris gak punya bangunan tinggi, Dom Tower berdiri kokoh menjulang setinggi 112 m dan tampak mencolok sehingga bisa diliat dari sisi manapun.

Aku diajak temanku untuk mengantri naik ke atas tower ini. Tepat pukul 5.30 sore, sebuah rumah kecil tepat di samping Dom Tower dibuka dan kami dipersilahkan masuk. Seorang guide berwujud pemuda tampan langsung memperkenalkan diri dan memberitahukan tata cara yang harus dilakukan ataupun yang dilarang dalam tur ini. Peserta harus naik serta turun bersamaan dalam waktu yang sama agar tidak ada yang tertinggal.
Begitu mengetahui akan menapaki 465 anak tangga hingga menuju puncak, kakiku auto lemas pengen ambruk.
“Good news is you aready passed two steps,” kata si guide sambil menunjuk anak tangga di pintu masuk yang baru saja dilewati. Ah elah bise aje lu tong.
Perjalanan dimulai dengan menaiki tangga-tangga batu hingga ke sebuah ruangan yang mirip dengan sebuah ruangan kosong yang rupanya dapat dialihfungsikan sebagai tempat berbagai acara hingga wedding venue. Bayangkan menyelenggarakan pernikahan dengan nuansa French Gothic style! Romantis sih cuma takut ada penyihir yang keluar 🙁

Dari ruangan ini, kami terus naik ke atas ruangan yang berisikan beberapa bel dengan berat yang tidak tanggung-tanggung, yakin ratusan kilogram hingga 32.000kg. Total ada 13 bel di tower ini.
Sembari sang guide menjelaskan sejarah dan meminta kami duduk sambil mendengarkan bel itu berbunyi secara otomatis, aku langsung memakai kesempatan ini untuk meluruskan kaki dan menyeka keringat.

Perjalanan berikutnya adalah yang paling menyiksa karena anak tangga ini seperti tidak ada habisnya. Ditambah lagi aku kurang tidur karena flight kami malam hari dan begitu nyampe tadi pagi aku masih jetlag dan belum istirahat. Sekarang sorenya udah langsung olahraga gini. Ampun… seumur umur kayaknya aku lum pernah naik bangunan setinggi ini dah. Mataku kriyep-kriyep banget sementara posisiku udah nanggung setengah jalan.
Beberapa orang dalam rombonganku terus menyemangatiku dengan kata – kata “ayo, tinggal sedikit lagi!”. Meski niatnya baik tapi terdengar seperti omong kosong karena ketika aku mendongakkan kepala ke atas, tak tampak apa-apa. Suasana dalam tower emang gelap, hanya ada beberapa sinar yang mampu menembus seadanya.
Tidak hanya aku yang kecapekan, tapi masih ada beberapa juga yang berada di belakangku. Aku pun jadi ikut – ikutan memberi semangat kepada mereka.
Beberapa hanya membalas “I’m fine, you go ahead,” balas mereka, sadar diri akan kemampuan masing masing.
Memang untuk menaiki tangga batu yang sempit dengan pencahayaan minim merupakan tantangan sendiri, apalagi jika mengidap Claustrophobia (fobia tempat yang sempit). Di perjalanan ke atas, aku sempat menemui sepasang kakek nenek yang terpisah namun masih berdekatan dan memutuskan beristirahat. Mereka hanya tersenyum melihat aku yang sudah sama bengeknya. Karena gengsi, aku pun gak mau kalah dan mendahului mereka. Memang di bangunan ini tidak tersedia lift sehingga semua akses ke atas hanya dapat dilalaui dengan berjalan kaki ke atas. So climb with your own risk!
Selain itu kesalahan terbesarku adalah aku salah kostum. Aku pikir Belanda masih dingin plus emang aku gak kuat kalo kena dingin jadilah aku pake pakaian lengkap seperti jaket kulit, celana panjang, sweater dan sepatu boots sebetis! Malu deh, aku satu-satunya yang berpakaian gitu. Yang lain mah cuma kaos oblong celana pendek doang. Akhirnya karena makin gerah di dalam tower lembab itu, aku buka tuh semua baju hingga tersisa kaos kutang you can see hitam. Fiuh!

Pelan-pelan barulah aku bisa agak bernapas dan memaksakan terus langkah kakiku yang mulai kram hingga tak terasa akhirnya tiba di puncak Dom Tower. Mukaku langsung diterpa angin dan udara segar khas Utrecht yang mana gak ada mobil diperbolehkan di area city centre ini. HUAAAA segarnya. Punggung, ketek, muka sebadan-badan langsung kering itu keringatku. Aku menyekanya dengan pernuh rasa kemenangan bagaikan baru saja menaklukkan puncak gunung. Lebay dikit bolehlah berhubung jarang-jarang aku mau manjat-manjat capek capek gini.

Sambil duduk beristirahat merasakan denyut nadi yang nyut-nyutan di betisku, aku melemparkan pandangan ke kota Utrecht yang rapi. Aku jadi teringat dengan permainan monopoli di mana rumah disusun rapi rapi. Begitulah Utrecht berhasil membuatku terpana dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta yang aku perjuangkan dengan segenap jiwa raga sambil mengalahkan keraguan akan diri sendiri.

Kini aku mengerti kenapa teman-temanku memilih kuliah di Utrecht. Pilihan mereka tepat sekali.
**
Tiket : € 9 / dewasa (tur dengan guide berlangsung selama satu jam atau tergantung cepat / lambatnya naik turun ke Dom Tower). Pas turun kakiku udah gemetaran yah mana laper banget, jadilah motivasi terbesarku buat cepetan turun buat makan-makanan Belanda yang porsinya gede banget!
****
Belanja baju keren & murah di shopee ini yah.
****

**
NEXT : Ashta Mall yang kece
NEXT : Kalau hidung mampet / pas covid ga bisa nyium bau, coba pake sterimar nasal spray.
NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging
NEXT : Facial di Erha
