Cerpen Labuhan Cinta

Kapal De Kartini

“Permisi, ada orangnya gak?” aku bertanya sambil menunjuk kursi di sampingnya.

Dia hanya menggelengkan kepalanya saja. Aku pun lantas mendaratkan pantatku di kursi itu, kursi terempuk dan terbaik di kapal Pelni ini. Tentu saja ini sudah mewah ketimbang harus berbagi kursi keras di dek kapal yang pengap dengan ratusan orang yang kadang berbaring, selonjor, dan segala macam pola tingkahnya.

Aku menghela napas panjang sambil melihat kondisi kapal sekitar. Ini malam Idul Fitri. Memang tidak aneh kalau kapal disesaki para pemudik yang sudah kangen akan kampung halamannya setelah tak dapat berjumpa selama 2 tahun pandemi Covid yang menyakitkan.

Ada sedikit penyesalan dan tanya tanya dalam hatiku. “Mungkin tak seharusnya aku jalan-jalan ke sini,” batinku mulai berteriak. Ini sudah jam 11 malam. Aku teramat ngantuk. Perutku berbunyi karena hanya sempat makan sedikit. Sekarang kandung kemihku juga mulai sesak sedangkan toilet kapal, ah sudahlah tak usah aku gambarkan. Kau pun pasti bisa menebak betapa semerbaknya bau pesing yang akan menyeruak dari wc dua pintu dengan air yang seadanya itu.

Aku merapatkan jaketku mencoba menghalangi angin malam yang mulai berhembus manakala kapal mulai meningalkan dermaga.

“Sendiri saja? Mau ke mana?” tiba-tiba pria di sebelahku memulai percakapan.

Ah basa-basi yang tak perlu pikirku. Biarkan kita beristirahat dalam diam saja.

Tapi demi sopan santun ala budaya timur, aku tetap menjawab seadanya. Tak lupa jua aku tanyakan dia ingin ke mana dan sebagainya. Rupanya dia orang lokal yang sedang mudik. Pulang menjenguk orang tua di kampung setelah lama bekerja dan menetap di ibu kota. Sedikit banyak kisahnya memiliki kemiripan denganku. Aku mulai tertarik. Paling tidak karena dia orang lokal, aku bisa bertanya beberapa hal karena ini solo trip pertamaku yang sangat impromptu. Tanpa teman. Tanpa rencana pasti. Di tengah kebosanan dan kesepian yang mengelut erat, aku memutuskan membeli tiket kapal yang akan membawaku ke destinasi eksotik di Nusantara ini. Tiada itinerary yang kubuat. Aku hanya ingin lari dari pikiranku yang berkecamuk.

Sementara itu, pria ini terus bercerita dan bertanya tentang banyak hal. Tadinya aku pikir aku akan risih. Apalagi dia sedang flu dan berkali-kali dia harus menyemprotkan ingusnya ke tisu atau menyekanya. Tapi mungkin setelah sekian lama, rasanya menyenangkan sekali punya teman mengobrol. Orang yang dapat bercerita banyak tanpa tahu identitas kita yang sebenarnya. Tak ada kepura-kepuraan atau jaga image. Tak perlu ada judgement. Aku tak perlu tahu intensinya apa. Ia pun tak harus tahu latar bekalangku. Biarlah pembicaraan ini mengalir seperti ombak yang dengan santainya membawa kapal ini berlabuh di muara.

“Mas aku nitip bentar tasku yah?” pintaku ketika aku sudah tak sanggup lagi menahan pipis. Wow dalam 3 jam saja aku sudah mulai mempercayakan segala harta yang kubawa kepada seseorang yang baru kukenal. WC yang becek dan sempit di kapal memang juga tak memungkinkanku untuk menenteng ransel besarku ke dalam. Aku setengah berlari karena kapal mulai bersandar. Orang-orang mulai bergerak turun. Aku berdoa momen ini akan membuat antrian di WC kapal mengular dengan cepat. Namun ada puluhan wanita yang punya pola pikir seperti diriku. Terpaksalah aku mengantri dengan cemas. Apakah aku tahan saja lagi hingga…..entahlah aku tak tahu kapan lagi akan bertemu toilet. Toilet bus juga tak kalah menyeramkan buatku. Tapi untunglah antrian cukup cepat mungkin karena orang terburu-buru ingin segera keluar dari kapal. Aku pun ikut lekas menunaikan hajatku. Pikiranku tak tenang.

Dengan deg-degan aku kembali ke tempatku. Kosong. Sudah tak ada lagi yang duduk di sana. Jantungku berasa sedingin air laut malam ini.

“Lenny… sini..” dia berteriak dari ujung pintu mengisyaratkanku untuk mengikutinya dan bergabung dengan orang-orang lain yang berbaris turun kapal.

“Duh.. maaf yah mas lama. Makasih loh…” ucapku sambil mengambil ranselku yang sedari tadi dia pegang. Pasti berat dan harusnya ia bisa meninggalkannya saja di sana. Ketika akan keluar dari kapal, dia memberitahuku no teleponnya dan berpesan jika ada apa-apa, harap menghubunginya. Aku mengangguk dan menyimpan nomornya. Meski ada bagian dalam diriku yang masih merasa pamrih akan kebaikannya.

Namun untungnya aku mengikuti pesannya karena benar saja, aku benar-benar menelponnya dan bertanya soal bus stop yang akan membawaku ke hotel di tengah malam ini. Ia memberikan arahan dan mengatakan akan menemani hingga pagi menjelang. Tidak aman bagi seorang wanita berkeliaran sendiri di sini. Begitu hematnya.

Jadilah aku dan dia menghabiskan 3 jam lagi bersama-sama di lobi hotel yang gelap. Tak banyak yang aku obrolkan kali ini karena rasa kantuk yang sudah tak tertahankan membuatku harus sekadar menutup kelopak mata barang sejenak. Mataku merah dan aku sangat capai. Namun karena ada dia, aku jauh merasa aman. Perasaan diayomi walaupun baru saja berkenalan ini sungguhlah aneh.

Matahari terbit mulai menunjukkan rupanya. Ia harus pamit. Sholat Ied sudah akan dimulai. Ia memintaku mengabarinya ketika aku kembali pulang ke Jakarta. Sebuah janji yang kupegang terus. Meski baru sebulan kemudian kami dapat bersua kembali, pertemuan dengannya adalah sebuah perjalanan untuk melabuhkan hati. Kami tak pernah tahu ke mana arah mata angin membawa nasib ini. Satu-satunya petunjuk adalah bintang-bintang di langit yang bertaburan menebarkan bermacam filosofi. Akankah ini hanya sebuah lawatan biasa saja atau mampukah kami bergandeng tangan menerobos ombak hingga akhirnya bertautan dan saling mengisi satu sama lain. Akankah pundaknya yang bidang dan tangannya yang lembut dapat menjadi tempatku bersandar selamanya?

Pluit bertiup kencang.

Layar sudah terkembang.

Mari kita arungi bahtera kehidupan ini.

NEXT : Nginap di hutan untuk ketemu Orang Rimba

NEXT : Sedot eek kuping penyebab telinga berdenging

NEXT : Facial di Erha

Travel Now or NEVER

Leave a Reply